Makelar Dalam Islam
Pengertian Makelar
Makelar 1 perantara perdagangan; pialang; 2 orang
atau badan yang menjual barang-barang atas dasar komisi (KBI, 2008:
990). Dalam Bahasa Arab makelar disebut سمسرة orangnya disebut سمسار
bentuk pluralnya adalah سماسير atau سماسير dan سماسرة
(al-Munawwir, 2008: 659).
Kata samsarah terdapat dalam hadits, yaitu penafsiran Ibn Abbas terhadap kata حَاضِرٌ لِبَادٍ
عنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُتَلَقَّى الرُّكْبَانُ وَلَا يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ قُلْتُ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ مَا قَوْلُهُ لَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا
dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menyongsong (mencegat)
kafilah dagang (sebelum mereka tahu harga di pasar) dan melarang pula
orang kota menjual kepada orang desa. Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas
radliallahu ‘anhuma: “Apa arti sabda Beliau ” dan janganlah orang kota
menjual kepada orang desa “. Dia menjawab: “Janganlah seseorang jadi
perantara bagi orang kota (HR. Al-Bukhari)
Samsarah adalah Bahasa Farsi yang diarabkan yang bermakna
perantara antara penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual
beli. Secara umum dalam Istilah fikih adalah pekerjaan perantara/makelar
antara orang-orang untuk transaksi komersil seperti jual beli, ijarah
(sewa menyewa), dan lain-lain. Simsar adalah pekerja yang memperoleh
upah sesuai dengan usahanya karena mempromosikan/mengedarkan komoditas
atau sewa bangunan dengan tidak melipat gandakan harga. Upah yang
diperolehnya dari segi ju’alah yang tidak akan didapatkan
kecuali apabila pekerjaannya sudah selesai. Dulu makelar dikenal dengan
المنادين (penyeru), الدلالين (perantara/penunjuk), الطوافين (yang
berkeliling), dan الصاخة (yang berteriak ). Hal itu dikarenakan mereka
menyeru dan berteriak untuk memberitahukan sebuah komoditas dan dengan
harga yang berbeda sebagai pengganti (upah) untuk penjualannya. Dan
mereka kadang-kadang berkeliling kepada pembeli untuk membujuk mereka
membeli dagangan. (Muja’m Musthalahat Maliyah, 2008: 249)
Dalam al-Mau’suah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kementrian Wakaf Kuwait, 10:151) samsarah menurut
bahasa adalah perdagangan. al-Khattabi mengatakan simsar adalah lafadz
asing karena kebanyakan diantara orang yang menjual dan membeli adalah
orang asing, mereka menerima nama ini dari mereka lalu Rasulullah saw.
merubahnya kepada tijarah yang merupakan Bahasa Arab.
عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي غَرَزَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نُسَمَّى السَّمَاسِرَةَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الشَّيْطَانَ وَالْإِثْمَ يَحْضُرَانِ الْبَيْعَ فَشُوبُوا بَيْعَكُمْ بِالصَّدَقَةِ
dari Qais bin Abu Gharazah ia
mengatakan; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami
dan kami dinamakan para makelar, lalu beliau bersabda: “Wahai para
pedagang, Sesungguhnya setan dan dosa itu datang ketika transaksi jual
beli, maka gabungkanlah jual beli kalian dengan sedekah.” (HR. Tirmidzi,
Nasai dan Ahmad)
Samsarah menurut bahasa adalah perantara antara penjual dan
pemebeli. Sedangkan simsar yang masuk antara penjual dan pembeli
sebagai perantara untuk melaksanankan transaski. Dinamakan juga الدَّلاَّل karena ia yang menunjukkan kepada pembeli komoditas dan memandu penjual kepada harga.
Hukum Makelar
Para ahli fikih berbeda pendapat tentang hukum makelar
apakah boleh atau tidak. Berikut adalah perbedaan hukum mengenai makelar
(Sa’duddin Muhammad, 2002, 649-650)
Mazhab Hanafi
Menurut Mazhab Hanafi makelar tidak boleh karena itu adalah
gharar, akan tetapi diriwayatkan dari Ibn ‘Abidin dalam al-Hasyiyah
bahwa Muhammad bin Salamah ditanya tentang upah makelar, maka ia
menjawab tidak apa-apa (tidak jelek), karena banyaknya orang yang
bertransaksi dengan makelar walaupun asalnya fasid. Ia berkata
kebanyakan transaksi ini tidak boleh, mereka membolehkannya karena
banyak orang yang melakukannya.
Mazhab Maliki
Mazhab maliki membolehkan dengan dua syarat tidak
menentukan waktu, harganya diketahui dan tidak boleh menerima upah
kecuali sesudah beres pekerjaan. Kalau disyaratkan kontan akadnya fasid.
Dan boleh ia mengakadkan bagi pegawai sesuatu yang tidak ditentukan
seperti ia mengatakan barangsiapa yang menemukan barang yang hilang maka
baginya sekian.
Mazhab Syafi’i
Menurut Mazhab Syafi’i boleh melakaukan akad jua’lah yaitu,
menyerahkan ju’alah (upah) bagi orang yang menemukan barang hilang. Dan
boleh juga untuk pekerjaan yang tidak ditentukan, karena kebutuhan.
Tidak ada hak upah bagi seorang pekerja kecuali dengan izin
pemilik modal dan tidak ada hak jualah (upah) bagi pekerja kecuali
kalau sudah mengerjakan upah.
Dan itu termasuk akad yang diperbolehkan, bagi keduanya
boleh membatalkan kontrak sebelum terjadi pekerjaan dan jika sudah
diselesaikan maka bagi pemilik modal/harta tidak boleh membatalkannya,
jika membatalkannya mesti baginya untuk menyerahkan upah sepadan.
Mazhab Hanbali
Makelar menurut Mazhab Hanbali adalah boleh pada pekerjaan
yang mubah walaupun tidak diketahui, karena dibutuhkan seperti
mengembalikan binatang/barang yang hilang dan lain-lain. Ia berhak
mendapatkan upah setelah selesai pekerjaan dengan syarat mendapt izin
dari pemilik harta, jika tidak ada maka tidak ada apa-apa baginya.
Pendapat yang kuat
Menurut Sa’duddin Muhammad (al-Mu’amalah al-Maliyyah
al-Mu’ashirah, 2002: 650-651) yang paling kuat adalah pendapat jumhur
yaitu, bolehnya menjadi makelar dan itu sebagaimana Mazhab Imam Bukhari .
Dalilnya dengan firman-Nya QS. Yusuf: 72
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ
penyeru-penyeru itu berkata: “Kami
kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya”.
Dalam hadits
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ حُنَيْنٍ فَلَمَّا الْتَقَيْنَا كَانَتْ لِلْمُسْلِمِينَ جَوْلَةٌ قَالَ فَرَأَيْتُ رَجُلًا مِنْ الْمُشْرِكِينَ قَدْ عَلَا رَجُلًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَاسْتَدَرْتُ إِلَيْهِ حَتَّى أَتَيْتُهُ مِنْ وَرَائِهِ فَضَرَبْتُهُ عَلَى حَبْلِ عَاتِقِهِ وَأَقْبَلَ عَلَيَّ فَضَمَّنِي ضَمَّةً وَجَدْتُ مِنْهَا رِيحَ الْمَوْتِ ثُمَّ أَدْرَكَهُ الْمَوْتُ فَأَرْسَلَنِي فَلَحِقْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَقَالَ مَا لِلنَّاسِ فَقُلْتُ أَمْرُ اللَّهِ ثُمَّ إِنَّ النَّاسَ رَجَعُوا وَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا لَهُ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ فَلَهُ سَلَبُهُ
dari Abu Qatadah dia berkata, “Kami
pernah pergi berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam pertempuran Hunain, tatkala kami berhadapan dengan musuh, maka
sebagian kaum Muslimin mundur. Aku melihat seorang laki-laki Musyrik
sedang menguasai seorang Muslim, aku langsung berbalik sehingga aku
dapat mendatanginya dari arah belakang. Kemudian aku penggal batang
lehernya, akan tetapi seorang Musyrik tersebut berbalik kepadaku dan
merangkulku dengan kuat, aku tahu kalau dia hampir mati, setelah dia
tewas, baru aku dilepaskan. Setelah itu aku bertemu dengan Umar bin
Khattab, dia bertanya kepadaku, “Bagaimana kondisi pasukan?” aku
menjawab, “Itu urusan Allah.” Kemudian orang-orang kembali, sementara
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk seraya bersabda:
“Barangsiapa dapat membunuh seorang musuh, sedangkan dia memiliki
seorang saksi, maka segenap perlengkapan si terbunuh boleh
dimilikinya.” (HR. Muslim)
Diantara para sahabat yang membolehkan adalah Ibn Abbas ia
berkata: tidak apa-apa engkau mengatakan juallah baju ini sekian, yang
lebih dari itu adalah milikmu. Al-Hasan, Ibn Sirin, ‘Atha’ dan Ibrahim
juga membolehkannya.
Imam Bukhari membolehkan makelar dengan beristidlal kepada hadits
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Orang-orang Muslim terikat di atas syarat-syarat mereka.”
Ibn Hajar beristidlal bolehnya makelar jika bukan pada
يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ berdasarkan mafhum mukhlafah dari sabda Nabi
saw. وَلَا يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ
Sayyid Sabiq (Fiqh al-Sunnah, 3:74) juga membolehkan
makelar dengan berpegang kepada pendapat Imam al-Bukhari, Ibn Sirin,
Atha, Ibrahim dan al-Hasan. Dan hadits Nabi saw. riwayat Abu Dawud,
Ahmad, Hakim dan Bukhari meriayatkannya secara muallaq:
المسلمون على شروطهم
Jadi makelar itu boleh selama ia tidak melanggar
aturan-aturan dalam jual beli. Seperti tidak melakukan najasy, gharar,
ghabn fahsy, ihtikar dan lain-lain.
Syarat Makelar
Adapun syarat-syarat makelar menurut Sa’duddin Muhammad
- Mendapat izin pemilik modal/harta/barang
- Harganya diketahui. Jika ia mengatakan yang harganya (keuntungan) lebih dari itu untukmu
- Tidak mendapatkan upah kecuali kalau sudah beres pekerjaan
- Tidak menentukan tempo (misal. jual ini paling lama selama satu minggu, pen.)
بيع حاضر لباد
Yang dimaksud dengan بيع حاضر لباد (orang kota menjual kepada orang desa)
yaitu calo keluar untuk membawa dagangan dan berkata psimpanlah
disisiku supaya aku bisa menjualkannya untukmu secara bertahap dengan
harga yang lebih tinggi, kemudian terjadilah kemadharatan bagi
orang-orang dan menjadi mahal kebutuhan mereka. Praktek jual beli ini
adalah haram dan batil (Mausu’ah al-Fiqh al-Islam, 3:423). Menurut Ibn
Hajar disebutkan orang desa dalam hadits ini karena keumumannya tetapi
ini juga berlaku bagi orang kota yang tidak tahu harga dan memadaratkan
kepada penduduk. (Fath al-Bari, 4:371. Kemudian menurut Wahbah yaitu
menjadi calo bagi orang yang tidak tahu harganya baik bagi orang desa
maupun kota.( Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, 5:3503) Jadi yang dimaksud
adalah yaitu, dimana calo melakukan penipuan harga kepada
penjual/pembawa barang dan menjualnya dengan harga yang mahal sehingga
hal tersebut memadharatkan orang lain. Menjadi calo boleh saja selama
mengambil keuntungan yang wajar dan tidak menipu yang mempunyai barang.
Contoh dari perbuatan makelar yang tidak boleh adalah misal
makelar tanah mengatakan kepada penjual bahwa tanah tersebut akan
dibangun untuk sekolah sehingga harganya menjadi murah, padahal makelar
menjualnya kepada orang asing untuk dibangun perusahaan, makelar tanah
menjualnya dengan harga 3kali lipat dari pemilik tanah makelar seperti
ini adalah yang diharamkan oleh Islam.
sumber :https://developerrumahsyariah.com/2017/11/makelar-dalam-islam/